Sidoarjo, 25 juni 2014
SEBELUM
AKU BERKATA JUJUR
Biasanya
kejujuran itu menyakitkan. Oleh karenanya nabi pernah bersabda untuk berkata
jujur walaupun pahit rasanya. Seolah sudah menjadi sunatulloh bahwa jujur itu
pahit. Dan hampir semua orang refleknya tidak senang, akan ‘mercing’ bahkan
menangis jika ada hal pahit yang datang menghampirinya, bahkan walaupun hal
yang pahit itu biasanya membawa dampak positif bagi kita.
Begitu juga
halnya dengan kejujuran. Seolah sudah bersifat kodrati bahwa ketika kita
menerima kejujuran (bukan pujian), maka respon
reflek yang dialami oleh hati kita adalah, sakit. Betapa sangat sakitnya
rasa itu hingga terkadang kita tak mampu menahan air mata. Saat seperti itu
biasanya kita hanya ingin merenung dan diam. Tak ingin berkata apapun karena
sesungguhnya apa yang dikatakan oleh dia (orang yang jujur tadi) adalah benar
adanya. Lebih tepatnya tak bisa berkata apa2.
Beberapa
hari kemudian, setelah kita selesai dengan perenungan kita, lambat laun sakit
dalam hati itu hilang, berganti rasa syukur. Seharusnya begitu. Karena berkat
kejujuran itu kita menjadi tahu seberapa menderitanya mereka terhadap sifat,
sikap ataupun ucapan kita. karena kejujuran itu kitapun juga dapat mengetahui
bahwa hal itu, hal yang ada pada diri kita itu, sangat merugikan orang lain
(baik secara materi maupun psikologi, dlohir maupun batin). Karena kejujuran itu
pula kekurangan2 kita yang berlimpah ruah bisa sedikit demi sedikit kita
kurangi sehingga dengan begitu insyaalloh timbangan dosa kita pun tidak
bertambah terlalu banyak, bahkan mungkin bisa berkurang. Karena kejujuran dari
dia adalah lebih baik, paling tidak lebih gentle daripada mereka terus tersenyum
di hadapan kita namun menghujat penuh sesak di belakang kita bersama mereka.
Karena keberaniannya untuk berkata jujur menjadikan kita lebih tentram,
tinimbang dia harus mengatakan kekesalannya itu pada orang lain yang hal itu
bisa berakibat orang lain tersebut turut membenci kita akibat cerita kekesalan
itu. bahwa sungguh besar manfaat kejujuran itu jika kita berkenan memikirkannya
barang sejenak. Maka dari itu, saat kita menerima kejujuran (bukan pujian) tak perlu
rasanya kita meluapkan rasa sakit hati kita terhadap dia. Diam memang
diperlukan untuk meredam agar rasa sakit ini tidak ber-metafora menjadi susunan
kata2 jahat dari sisi hewani kita. namun diam yang terlalu lama pun juga kurang
etis karena sesungguhnya seyogyanya kita harus segera berterimakasih padanya
atas keberaniannya untuk berkata jujur tersebut. Diam yang terlalu lama juga
dapat berpotensi menyakiti hatinya karena ia akan nelangsa dan menyesali
perbuatannya karena telah jujur pada kita, sehingga malah dia yang meminta maaf
kepada kita, padahal itu bukan seharusnya yang terjadi, dan patutlah kita malu
jika sampai itu terjadi. Diam yang terlalu lama pun juga dapat menimbulkan
prasangka bahwa kita tidak nompo atas kekurangan kita tersebut (tidak mau
dikritik, tidak mau disalahkan, dsb) sehingga akan bertambah besar kebencian
orang lain terhadap kita, yang sesungguhnya secara manusiawi kita pasti akan
sedih jika dibenci.
Pun juga
ketika kita ingin menyampaikan kejujuran terhadap orang lain. Waktu dan situasi
sangatlah penting untuk menjadi pertimbangan kita. termasuk juga susunan kata
dan intonasi yang kita gunakan perlu ditata, agar sakit hati yang pasti
dirasakannya pun juga dapat ditekan seminimal mungkin. Saat kita merasa di “dholimi”,
ingin rasanya kita langsung mengutarakan kejujuran dan berteriak bahwa kita
sakit dan menderita diperlakukan seperti itu. itu sangat wajar, apalagi bagi
kaum wanita. Namun, esensi keagungan kejujuran itu akan hilang jika kita
mengatakannya dalam keadaan emosi yang buruk karena biasanya kita sulit
mengontrol -apapun itu- saat kita sedang dalam keadaan seperti itu. sehingga kata2 yang keluar pun biasanya
terdengar lebih menyakitkan. Maka dari itu nabi kita pernah menghimbau
untuk diam ketika sedang marah, bepindah posisi dan atau segera mengambil air
wudlu. Sehingga, agaknya kita musti diam terlebih dahulu jika memutuskan akan
berkata jujur padanya. Diam bertujuan untuk meredam amarah kita. diam sejenak
bermaksud untuk memikirkan kembali apakah kejujuran itu akan dapat membawa
kebaikan atau malah lebih banyak madlorot yang akan timbul sebab kejujuran itu.
diam untuk menyusun kata2 yang tepat agar maksud kita sampai dan dapat
meminimalisir sakit pada hatinya atas kejujuran kita. karena dalam tenang kita
lebih bisa mengontrol. Kitapun juga dapat membuat bibir ini tersenyum atau
bahkan memaksa tersenyum agar sedikit pudar gejolak emosi dihati ini. Dalam
tenang kita akan dapat teringat betapa kebaikan dan usahanya untuk terus
berbuat baik pada kita adalah jauh lebih banyak daripada airmata yang
disebabkan olehnya. Dalam tenang kita dapat menyadari bahwa gusti Alloh yang
maha kuasa dan perkasa tidaklah tidur, tidak pernah luput sedikitpun tentang
apa yang terjadi dan dirasakan makhluk-Nya, maka sebenarnya kuasa kita (untuk
berkata jujur dengan kasar dan membalas) adalah sangat tidak diperlukan.
Biarkan kekuasaan yang Maha Lembut itu yang menuntun kita dan mereka.
===========================================================================
Menjadi baik mungkin memang sulit,
namun berusaha menjadi baik seharusnya dapat dilakukan oleh siapa saja dan dari
tingkatan apa saja.
Semoga segala gerak gerik kita,
tutur kata dan tingkah laku senantiasa direkso oleh yang Maha ngerekso.
Amiin..
Ahsin
kama ahsanallohu ilaika J
jum'at, 19-9-14 (22.17).
BalasHapusmalam ini, tulisan ini telah membuatku tersenyum geli. bagaimana tak, aku diingatkan tulisanku sendiri, xixi..
oke mbak ety.
kayaknya yang terpenting sekarang adalah bukan mengingatkannya atau 'sok menyadarkannya' atas semua pilihan sikapnya itu.
yang terpenting sekarang adalah membuat bibir ini tetap tersenyum, hati ini tetap semangat untuk menikmati segala jenis pengabdian dan pikiran ini tetap dapat fokus melaksanakan segala macam kewajiban.
suwun yo mbak. tulisan dari hati memang tak akan sulit untuk masuk ke hati. ;)
#oposehngomongdewe -_-'